Sabtu, 07 Februari 2015

Orang Tionghoa di Indonesia


(Prof.DR Han Hwie-Song)
Peranakan dan Totok !!!

Baiklah saya ceritakan disini yang sebenarnya diartikan sebagai Peranakan dan Totok untuk jelasnya.

Peranakan adalah suatu perkataan yang tidak jelas, bisa peranakan Tionghoa, Belanda, Arab yang umumnya ada di Indonesia. Tetapi karena jumlahnya Peranakan Tionghoa paling banyak dan media massa banyak menulis tentang persoalan integrasi dan asimilasi, maka kalau kita mengatakan sebutan Peranakan yang dimaksud adalah peranakan Tionghoa, Maka saya pakai sebutan itu dengan arti yang terakhir ini.

Tionghoa Peranakan adalah Orang Tionghoa yang turun menurun sudah tinggal di Indonesia, pendatang ke Nusantara yang terdahulu. Diantara mereka ada banyak yang mempunyai darah Indonesia dari pihak ibu. Karena waktu itu wanita dilarang ikut serta berimigrasi keluar negeri, lagipula oleh kerajaan Tiongkok pada waktu itu melarang penduduknya berimigrasi keluar negeri dan kalau tertangkap hukumannya berat. Sampai di Nanyang mereka “menika”dengan wanita pribumi, dari suku Jawa, Bali atau Sunda dsb. Anak-anak mereka berbicara bahasa ibunya dan putri-putrinya berpakean sarung kebaya. Orientasinya adalah pada negara dimana mereka tinggal, dalam hal cerita saya ini adalah Negara Indonesia . Kemudian generasi mudanya tetap menikah dengan sukunya yang dinamakan Hua Yi atau Hua Ren; keturunan Hua Yi ini jarang sekali menikah dengan orang pribumi. Karena itu mereka mempertahankan identitasnya yang telah tercampur dengan identitas negara atau daerah dimana mereka tinggal. Ada pula yang menikah dengan kaum elite ( bangsawan – Priyayi ) Indonesia , keturunannya memakai nama Indonesia dan menjadi Pribumi. Yang terakhir ini dulu sering bertemu di Prajekan dengan keluarganya yang tergolong Peranakan (daerah Prajekan ingatan saya, kalau salah harap dimaafkan), kebanyakan orang-orang pribumi ini tergolong Priyayi dan Huayinya tergolong kaum intelektual. Contoh yang lain ialah Bapak mantan presiden Abdulrachman Wahid beliau mengatakan bahwa dirinya adalah keturunan Hakka. Saya juga pernah bercakap-cakap dengan seorang guru besar di Surabaya , seorang pribumi, beliau mengatakan pada saya:”pak Han saya baru saja datang dari RRT, yah ini karena saya mau melihat roots ( akar ) saya. Leluhur saya kan orang Tionghoa.” Saya mengangguk-angguk pertanda setuju pada perkataan beliau itu. Pendatang-pendatang yang baru, menikah dengan nyonya-nyonya keturunan Tionghoa yang sudah ada di Indonesia .
Di Indonesia juga di Malaysia dan Singapura, orang-orang ini dipanggil Peranakan atau lebih khusus lagi yang laki dipanggil Baba dan yang wanita dipanggil Nyonya. Saya membicarakan mereka yang tinggal di Indonesia untuk memperkecil ruangan yang kita bicarakan. Mereka ini umumnya tidak pandai lagi apa bahasa Tionghoa, dirumah mereka dengan keluarganya bicara dalam bahasa lokal atau yang Tempo Doeloe dikatakan Bahasa Melajoe Tionghoa,
Mereka sudah mengambil banyak identitas Indonesia, karenanya kebudayaannya sudah campuran . Nyonya doeloe pakai Sarong Kebaya. Tetapi lain motifnya dengan sarung orang pribumi, sarung ini dinamakan Sarong Nyonya dan terutama dibuat di Pekalongan. Karena keaktifan Nyonya dalam masak-memasak maka banyak masakan yang disebut masakan Nyonya, seperti lontong cap go meh, bak-cang, kwee-cang, lemper dsb.
Karena sudah beberapa generasi tinggal di Indonesia , dan waktu itu komunikasi yang masih belum semaju sekarang, maka mereka pada umumnya sudah tidak punya lagi keluarga di Tiongkok ( kehilangan akar/root nya ) dan orientasinya ialah Negara Indonesia, dimana mereka menetap. Dijaman Doeloe mereka sekolah Belanda, karenanya bisa meneruskan pelajarannya ke universitas dan banyak diantara mereka yang tergolong intelek seperti dokter, insinyur, ekonom, pengacara,  dan guru sekolah, sedikit yang berdagang kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pegawai di perusahaan internasional, bank dan perusahaan orang Tionghoa lainnya.

Tionghoa Totok adalah mereka yang datang ke Indonesia sesudah wanita juga diperbolehkan oleh kerajaan Ching untuk bepergian keluar negeri dan para suami diijinkan untuk membawa istrinya. Dalam keluarga mereka tetap bicara bahasa Tionghoa, dialek asal dimana mereka datang dari Tiongkok. Anak-anak mereka tetap sekolah Tionghoa, karena lulusan sekolah Tionghoa tidak diakui baik oleh pemerintah Belanda maupun pemerintah Indonesia . Maka mereka yang lulus pada jaman  Tempo Doeloe dari sekolah menengah tidak bisa meneruskan ke universitas dan untuk mempertahankan penghidupannya banyak dari mereka berdagang. Sesudah berdirinya Res Publica di beberapa kota-kota besar diantaranya Jakarta ( sekarang bernama Universitas Trisakti – Jakarta ) dan Surabaya, mereka bisa meneruskan studinya di universitas Res Publica. Dalam bidang perdagangan, karena mereka giat bekerja, bisa bekerja sama diantara mereka dari satu provinsi dan sifat-sifat yang menghemat banyak diantaranya sukses dalam bisnisnya.
Jelas mereka mempertahankan kebudayaan Tiongkok dan orientasi mereka terutama pada Tiongkok. Mereka masih mempunyai keluarga dekat di Tiongkok dan yang mempunyai uang sering berkunjung ke Tiongkok untuk mengunjungi keluarga dan teman-temannya. Anak-anak mereka pada jaman sesudah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, karena sokolahan mereka tidak diakui oleh pemerintah, karena guru-gurunya tidak dianggap berkwalifikasi sebagai guru, karena lulusan sekolah menengah mengajar disekolah menengah juga. Banyak generasi mudanya, karena masih berorientasi kuat ke negara leluhur mereka , maka untuk meneruskan pelajarannya mereka Wei-guo (pulang ke negeri leluhur) tidak ke Singapore atau Malaysia atau Taiwan, meskipun mereka harus menanda-tangani perjanjian tidak boleh menetap kembali di Indonesia. Orang Tionghoa Totok ini karena mempunyai sifat provinsialisme yang kuat maka mereka menikah antar sukunya sendiri, yaitu orang Hok Jia menikah dengan orang Hok Jia dan orang Hakka menikah dengan orang Hakka dsb.

Dalam sejarah Hua Yi pada jaman Hindia Belanda dan kemudian pada Jaman Indonesia merdeka terjadilah kerja sama yang erat antara Golongan Peranakan didikan Barat dan Golongan Totok dari berbagai provinsi dan kota . Kita di Indonesia senantiasa mendengar bahwa Penguasa Belanda memberikan privelege, fasilitas, keuntungan bagi orang Tionghoa, tetapi sejarah memperlihatkan keadaan yang tidak demikian. Orang Tionghoa sangat dibatasi kemungkinan dan ruang geraknya, ke-mobil-annya untuk usaha. Orang Tionghoa seperti diatas telah saya bahas, tetapi baiklah saya ulangi lagi untuk jelasnya. Setiap orang Tionghoa yang berpergian, meninggalkan Pecinan harus meminta ijin dari penguasa Belanda, dimana ditulis pergi kemana, dan jam yang ditentukan harus sudah pulang. Kalau mereka pergi tanpa surat ijin bisa ditahan oleh polisi. Ini sangat menghalangi perdagangan orang Tionghoa. Dengan ijin surat jalan dapat kita analisa bagaimana sukarnya bagi pedagang untuk mempromosikan perdagangannya, mengerjakan marketingnya dan pengurusannya. Contoh kedua dari diskriminasi penguasa Belanda terhadap orang Tionghoa ialah dalam bidang pendidikan. Bagi orang Tionghoa yang kaya atau anak-anak dari opsir-opsir Tionghoa, mayor, kapten, letnan (pengangkatan orang Tionghoa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengurus masyarakat Tionghoa diberi gelar militer tetapi bukan militer) sekolah disekolah-sekolah Barat swasta. Pemerintah tidak memperdulikan pendidikan orang Tionghoa, padahal bagi anak-anak pribumi diadakan sekolahan khusus pada tahun 1871.
Pemimpin-pemimpin Tionghoa Peranakan didikan Barat, diantaranya ada seorang yang terkenal kaya raya dan bekerja untuk masyarakat Phoa Keng Hek menunjukkan ketidak puasannya terhadap hukum yang diskriminatif ini. Mereka membalas dengan mendirikan organisasi massa Tiong Hoa Hwee Kuan pada tahun 1900, terkenal dengan singkatan THHK. Dalam pengurusan THHK terdapat orang-orang Totok. Tujuan dari THHK ialah pendidikan, merubah kebiasaan-kebiasaan hidup yang merugikan masyarakat Tionghoa dan keluarganya, seperti menghisap candu, pergi ke tempat pelacuran, menghambur-hamburkan uang pada waktu pesta perkawinan, kematian dsb. Mempropagandakan ajaran Guru Besar Kong Fu Zi, dan mendirikan sekolahan-sekolahan yang modern untuk memenuhi kebutuhan perdagangan bagi orang Tionghoa.
Pendirian THHK adalah satu reformasi yang besar, satu impak bagi kedinamikan orang-orang Tionghoa dalam bidang sosial, budaya dan perdagangan. Sekolahan-sekolahan itu berbahasa pengantar bahasa  Mandarin, mempromosikan budaya Tionghoa dan guru-gurunya adalah orang-orang Totok yang didatangkan dari Tiongkok. Sekolahan ini berkembang dengan cepat dan tersebar diseluruh Nusantara. Tiong Hoa Hwee Kuan dikunjungi oleh seorang reformasi Tiongkok yang besar Kang Yu Wei, bahkan tulisan Tionghoa dari Tiong Hoa Hwee Kuan ditulis dengan pensil oleh Kang sendiri. Karena suksesnya dalam bidang pendidikan THHK kemudian menjadi lembaga pendidikan. Pemerintah kerajaan Qing mengirimkan para pejabat-pejabat pemerintahnya ke Hindia Belanda untuk membantu pendidikan Hua Yi, bahkan mereka memberi beasiswa untuk meneruskan pendidikannya ke universitas di daratan Tiongkok. Karena ini orang Tionghoa mau tidak mau berorientasi ke Tiongkok. Tidak seorangpun akan meragukan bahwa Tiong Hoa Hwee Kuan yang pertama-tama didirikan oleh Peranakan Tionghoa berpendidikan Barat hanya bisa sukses kalau mereka bekerja sama dengan golongan totok, baik dalam pengurusan pendidikan maupun dalam bidang finansial.
Kalau kita lihat usaha kegiatan dari Tiong Hoa Hwee Kuan, dapat disimpulkan bahwa Tiong Hoa Hwee Kuan adalah organisasi yang mendongkrak pikiran yang kuno dan tidak cocok dengan keadaan pada jamannya, lalu membangun pikiran-pikiran yang baru, guna kemajuan masyarakat Tionghoa, karenanya sejarah menganggap THHK sebagai ormas yang pertama di Indonesia yang menganjurkan “ Nation dan Character Building”. Tetapi tidak disebut demikian sebelum Perang Dunia II, karena pengertian tentang Ilmu Politik dan Tata Negara masih belum sampai disitu. Tetapi pendirian THHK mendapatkan sambutan yang baik dari semua golongan yang ada di Hindia Belanda dan mendirikan ormas-ormas yang serupa dengan THHK. Salah satu pemuka-pemuka Tionghoa Peranakan pendidikan Barat yang merupakan lokomotif dari pendirian THHK adalah ketuanya yang bernama Phoa Keng Hek. Phoa akan diangkat oleh Gubernur Jendral Belanda untuk menjadi Kapitan Tionghoa, tetapi beliau menolak fungsi yang tinggi itu, dengan alasan yang halus. Phoa mengerti fungsi sebagai kapitan Tionghoa, beliau tidak dapat dengan bebas mengabdi pada masyarakat Tionghoa. Nasionalisme Phoa yang terpengaruh oleh perkembangan nasionalisme di Tiongkok diantaranya, Kang Yu-Wei, Liang Chi-Chao dan Dr. Sun Yat-Sen, yang juga disebut oleh Bung Karno mempunyai pengaruh terhadap pandangan politik beliau.
Pendirian THHK adalah “Gerakan yang mengkhawatirkan” bagi penguasa Belanda, mereka takut kehilangan kontrol terhadap orang-orang Tionghoa dan dengan merasa terpaksa pemerintah Hindia Belanda membuka pendidikan khusus bagi orang Tionghoa yang terkenal dengan nama Hollandsch-Chineesche School (HCS) pada tahun 1908. Lulus dari HCS dapat meneruskan ke MULO dan lalu ke AMS untuk kemudian bisa meneruskan ke universitas. Dan menurut hukum orang Peranakan dimasukkan dalam onderdaan pemerintah Hindia Belanda. Dengan adanya HCS yang bisa meneruskan sekolahannya ke sekolah teknik menengah dan universitas, anak-anak dari peranakan kebanyakan masuk ke HCS dan anak-anak Totok tetap sekolah di THHK atau sekolahan Tionghoa lainnya yang baru mereka dirikan.
Contoh lain dari hasil yang baik dari kerjasama antar dua golongan Hua Yi ini, dapat dilihat di Rumah sakit-rumah sakit yang didirikan di kota-kota besar oleh para dokter peranakan Tionghoa seperti RS. Tiong Hoa Ie Wan di Semarang dan Surabaya ( yang di Semarang sekarang bernama RS. Telogo Rejo ), RS. Yang Seng Ie ( sekarang RS. Husada ) di Jakarta, Rs. Dr. Oen di Solo dsb. bisa berkembang baik karena kerja sama antar dua golongan masyarakat Peranakan dan Totok. Kerja sama ini tampak lebih jelas pada jaman modern sekarang ini.

Seperti di Surabaya kegiatan dari almarhum bapak Yap Eng Kie, seorang totok yang bekerja sosial untuk Tiong Hoa Ie Wan sampai akhir hidupnya. Demikian pula dalam mendirikan sekolah-sekolah rendah, menengah dan universitas di Indonesia melihatkan kerja sama yang unik antara golongan Totok dan Peranakan. Tidak salah kalau kita gunakan bahasa sepak bola, bahwa masyarakat Hua Yi di Indonesia merupakan sebuah team yang kuat dan indah dengan kekayaan jiwa yang besar. Mereka bermain dengan indah seperti bintang-bintang dilangit dan karena kwalitas yang tinggi mereka mendapatkan historical success.

Di Eropa civilisasi mereka ialah civilisasi perjuangan, katakanlah orang Eropa mempunyai agama, tetapi agama ini memberi kepuasan pada hatinya tetapi tidak pada otaknya. Dan filosofi mereka memberi kepuasan kepalanya tetapi tidak hatinya. Sifat perjuangan ini dapat kita lihat dalam banyak segmen-segmen penghidupan mereka, dari literatur, seni, politik dsb. Juga filosofi mereka tidak menunjukkan kesatuan, ambil seumpamanya Socrates adalah guru dari Plato, tetapi filosofi Plato bukan filosofi dengan nama socratoisme. Demikian pula dengan Aristoteles yang belajar dan hidup selama duapuluh tahun dengan Plato menamakan teorinya dengan namanya sendiri. Karena adanya kontradiksi-kontradiksi ini maka mereka mendapatkan kemajuan dalam bidang teknologi dan dalam banyak bidang keilmuan. Kemajuan dalam bidang materi tetapi kurang dalam bidang jasmani, kebalikan dengan Tiongkok ketenangan, kekayaan dalam jiwa, tetapi kurang dalam materi.

Dengan otak orang bisa merobah keadaan, kehidupan untuk kemajuan dengan penemuan-penemuan teknologi. Bisa dikatakan bahwa orang Tionghoa hidup sebagai anak kecil yang hidup dengan perasaan, tetapi jujur dan tidak kompleks, sama dimulut sesuai dihati. Dapat saya katakan dengan singkat bahwa Orang Tionghoa adalah seorang dewasa dengan hati anak. Seperti filsuf kenamaan Meng Ke (Mencius) mengatakan, apakah yang kami ini kehilangan? Beliau berkata: Orang itu pada siang hari mencari apa yang kehilangan, yang dia cari-cari disiang hari ini ialah hati seorang anak! Kejujuran dan spontanitas seorang anak.

Tetapi kalian akan setuju dengan saya bahwa identitas suatu bangsa, suku selalu berubah dengan perubahan waktu. Sifat-sifat dan norma-norma hidup yang kuno, sudah “tua” akan hilang dan akan datang manusia Tionghoa yang baru yang  sudah mengadaptasikan dengan keadaan dimana mereka tinggal atau pernah tinggal dengan jangka waktu yang lama. Yang datang ialah manusia Tionghoa yang modern dan progressif dengan orientasi diri ke jurusan Indonesia dan menerima Indonesia sebagai negaranya. Saya beranggapan bahwa kontradiksi antar kedua golongan ini dalam badan masyarakat Tionghoa janganlah lagi disebut-sebut, atau disentil-sentil pada faktor-faktor yang sensitif yang bisa menyebabkan perpecahan dalam dua kubu pro dan kontra, seperti yang sudah kita alami.  Kita harus mengerti bahwa kesuksesan dari persatuan ini tergantung pada motivasi dari Hua Yi!

Saya pernah berdiskusi dengan teman-teman saya, dimana saya katakan pada mereka bahwa perbedaan yang dulu-dulu adalah satu tahapan yang sudah dilewati! Perbedaan selalu akan timbul dalam perjalanan kehidupan manusia, dan kontradiksi yang timbul harus diselesaikan dalam suasana kekeluargaan dan diusahakan jangan sampai menjadi rumit. Saya mempunyai pendirian bahwa kwalitas dan hasil harus berjalan bersama, karenanya saya harap mengingat hal praktis dan sosial semua “konflik”dalam tubuh masyarakat Tionghoa secepatnya diselesaikan. Saya berpendapat bahwa satu kemiskinan kejiwaan kalau persatuan ini tidak berjalan dengan langgeng. Sebetulnya masyarakat Tionghoa adalah satu kesatuan yang pandai dan indah, mengapa tidak? Golongan yang dulu disebut Peranakan mempunyai intelektualitas, profesional yang tinggi dan golongan Totok mempunyai sifat busines kuat dan cara mengelolanya yang simpatik, maka permainan dalam lapangan sosial, budaya, economis dan politik perlu adanya pimpinan yang kharismatis dan pandai.

Analisa saya tersebut diatas tidak berdasarkan hanya dari satu kejadian yang sukses bahkan sukses yang sangat spektakuler dari THHK, tetapi kesuksesan pada banyak institusi-institusi dan ormas-ormas pada periode yang tidak sama dalam sejarah Indonesia. Yang perlu saya katakana disini ialah agar kerjasama itu perlu dilanggengkan dan dengan pengertian bahwa karena masing-masing golongan mempunyai kelebihan-kelebihan, persatuan mereka telah membuahkan kesuksesan yang besar dalam bidang sosial, budaya, kesehatan dan ekonomi bangsa dan negara Indonesia. Negara dimana mereka dilahirkan dan merasakan kecintaan dan kesenangan untuk menetap, sebagai home sweet home mereka.  Kami lihat bahwa universitas-universitas swasta dan rumah sakit-rumah sakit yang didirikan oleh masyarakat Tionghoa tetap berdiri dan berkembang baik dalam kwantitas maupun dalam kwalitas.

Dengan demikian dalam tubuh masyarakat Tionghoa tidak ada lagi pembagian antara Peranakan dan Totok yang ada ialah peranakanisasi dari orang-orang Tionghoa Totok. Perubahan yang prodresif ini sangat diperlukan tidak saja bagi WNI keturunan juga pada mayoritas, pemerintah dan media cetak pada umumnya. Perubahan yang tidak boleh ditunda bahkan sekarang juga harus ada perubahan yang saya maksudkan diatas.

Pada jaman Orde Baru semua sekolahan Tionghoa ditutup, dan orang Tionghoa "diharuskan" untuk mengganti namanya dengan nama Indonesia, dilarang mempertunjukan kebudayaan Tionghoa keluar, diluar rumah mereka dipaksa harus berbicara bahasa Indonesia. Paman dari istri saya, seorang Totok Hokjia bahasa Indonesianya lancar, juga teman teman saya (golongan seniornya) yang dulu hampir tidak kenal bahasa Indonesia, umumnya mereka bicara dalam bahasa “jawa ngoko” / jawa kasaran, sekarang lancar bicara bahasa Indonesia. Saya harus mengakui kekalahan saya dalam hal berbahasa Indonesia dari mereka. Generasi mudanya bersekolah di sekolah Indonesia , yang didirikan oleh golongan Peranakan. Dengan demikian mereka kenal sejarah dan kebudayaan Indonesia lebih baik dari ayah dan ibunya.
Tidak berkelebihan kalau saya katakan sesudah saya setiap tahun berkunjung ke Indonesia , terutama sesudah periode Gus Dur, terjadilah proses integrasi yang berjalan lancar. Bahkan dapat dikatakan bahwa situasi orang Tionghoa dalam hal sosial budayanya jauh lebih baik dari sebelumnya. Dalam pertanyaan saya pada generasi muda anaknya totok, banyak dari mereka yang tidak tahu lagi asal provinsi mereka di Tiongkok daratan. Diantara mereka ini sekarang banyak yang sekolah ke universitas dalam dan luar negeri. Banyak diantara mereka sesudah lulus tidak menerjunkan dirinya dalam usaha ayahnya tetapi bekerja di perusahan internasional asing dan bank-bank. Ada seorang pemuda lulusan USA yang berkata: “saya sekolah fakultas perekonomian, masa saya harus meneruskan perusahaan ayah saya jualan minyak di Semarang. Kan lebih baik sejak dulu saja saya kerjakan dan tidak usah ke USA untuk mendapatkan gelar ekonom. Mungkin saya sekarang sudah punya uang simpanan .”  Banyak generasi mudah lulusan universitas yang tidak mau kembali meneruskan pekerjaan ayahnya apalagi kalau didesa atau kota kecil, mereka lebih baik bekerja di Bank atau perusahan Multi Nasional di Jakarta atau Surabaya dan tidak sedikit jumlahnya yang menetap di Negara-negara Barat dan di Negara-negara maju lainnya. Terjadilah proses yang dinamakan Peranakanisasi dari generasi muda totok.
Bagaimanapun saya percaya pada hari depan Huayi, orang- orang Tionghoa dari segala golongan dan suku bisa tetap bersatu tiada perbedaan antara suku, Peranakan dan Totok, dengan persatuan ini mereka bisa meningkat dalam tangga masyarakat, baik dalam tingkat intelek, ekonomi dan budaya. Seperti keadaan pada jaman Orde Lama, kalian bisa membanggakan kebudayaan dan ekonomi, yang berguna bagi bangsa dan negara Indonesia , karena kalian masing-masing memepunyai kemampuan.  Reformasi yang dimulai oleh mantan presiden Abdulrachman Wahid dan pemerintahan selanjutnya dapat membantu dalam perkembangan  yang saya maksud diatas. Dengan perkataan singkat bisa saya jelaskan disini bahwa kerja sama, saling respek dan toleransi adalah satu kebenaran dimana kita bersama berusaha mengerjakan setiap hari.


Penutup

Sebagai penutup dari tulisan saya ini, yang dapat dipertanyakan adalah apakah problem dalam masyarakat Tionghoa adalah problem orang Tionghoa ataukah problem bangsa dan negara Indonesia ???
Jelas ini adalah problem bangsa dan negara Indonesia . Indonesia pada jaman reformasi ini akan menuju ke negara yang demokratis, stabil dan makmur. Dan ini hanya bisa terlaksana kalau semua rakyat, termasuk suku Tionghoa ikut dengan aktif dan banyak kreatifitas bekerja sama dengan segala suku yang ada di Indonesia . Hanya dengan kreatifitas dan efisiensi, ekonomi bisa berjalan dengan dinamis. Kemajuan materiil dari ekonomi ada hubungan erat dengan kepandaian manusia, karena itu Indonesia diharapkan berani memakai orang yang pandai tanpa pandang Ras nya !!!

Dr. Han Hwie-Song
Breda 9 Juni 2008  Nederland
======
Admin Note : 
Dr. Han adalah kelahiran Surabaya sampai akhirnya beliau pindah ke Hong Kong dan akhirnya menetap di Nederland disana karena pengabdiannya beliau di hadiahi Bintang Penghargaan oleh Ratu Belanda tetapi Semangat dan Pikiran beliau masihlah tertuju pada Indonesia sehingga beliau masih banyak menulis artikel ttg Indonesia.Ini semua bisa dibaca dalam Memoar DR. Han Hwie Song ( seperti pada foto ini ) . Kami secara pribadi mengenal beliau , sampai pada akhirnya beliau direnggut hidupnya oleh Tumor Otak tetapi penyakitnya seperti tidak dirasakan dan beliau tetaplah menulis artikel utk dikirimkan ke berbagai media di seluruh dunia dan beliau berhasil menyelesaikan Buku Memoarnya . Kami Salut atas dedikasi , ketabahan dan kesabaran beliau .