(Prof.DR
Han Hwie-Song)
Peranakan dan Totok !!!
Baiklah saya ceritakan disini
yang sebenarnya diartikan sebagai Peranakan dan Totok untuk jelasnya.
Peranakan adalah suatu
perkataan yang tidak jelas, bisa peranakan Tionghoa, Belanda, Arab yang umumnya
ada di Indonesia. Tetapi karena jumlahnya Peranakan Tionghoa paling banyak dan
media massa banyak menulis tentang persoalan integrasi dan asimilasi, maka
kalau kita mengatakan sebutan Peranakan yang dimaksud adalah peranakan
Tionghoa, Maka saya pakai sebutan itu dengan arti yang terakhir ini.
Tionghoa Peranakan adalah
Orang Tionghoa yang turun menurun sudah tinggal di Indonesia, pendatang ke
Nusantara yang terdahulu. Diantara mereka ada banyak yang mempunyai darah
Indonesia dari pihak ibu. Karena waktu itu wanita dilarang ikut serta
berimigrasi keluar negeri, lagipula oleh kerajaan Tiongkok pada waktu itu
melarang penduduknya berimigrasi keluar negeri dan kalau tertangkap hukumannya
berat. Sampai di Nanyang mereka “menika”dengan wanita pribumi, dari suku Jawa,
Bali atau Sunda dsb. Anak-anak mereka berbicara bahasa ibunya dan
putri-putrinya berpakean sarung kebaya. Orientasinya adalah pada negara dimana
mereka tinggal, dalam hal cerita saya ini adalah Negara Indonesia . Kemudian
generasi mudanya tetap menikah dengan sukunya yang dinamakan Hua Yi atau Hua
Ren; keturunan Hua Yi ini jarang sekali menikah dengan orang pribumi. Karena
itu mereka mempertahankan identitasnya yang telah tercampur dengan identitas
negara atau daerah dimana mereka tinggal. Ada pula yang menikah dengan kaum
elite ( bangsawan – Priyayi ) Indonesia , keturunannya memakai nama Indonesia
dan menjadi Pribumi. Yang terakhir ini dulu sering bertemu di Prajekan dengan
keluarganya yang tergolong Peranakan (daerah Prajekan ingatan saya, kalau salah
harap dimaafkan), kebanyakan orang-orang pribumi ini tergolong Priyayi dan
Huayinya tergolong kaum intelektual. Contoh yang lain ialah Bapak mantan
presiden Abdulrachman Wahid beliau mengatakan bahwa dirinya adalah keturunan
Hakka. Saya juga pernah bercakap-cakap dengan seorang guru besar di Surabaya ,
seorang pribumi, beliau mengatakan pada saya:”pak Han saya baru saja datang
dari RRT, yah ini karena saya mau melihat roots ( akar ) saya. Leluhur saya kan
orang Tionghoa.” Saya mengangguk-angguk pertanda setuju pada perkataan beliau
itu. Pendatang-pendatang yang baru, menikah dengan nyonya-nyonya keturunan
Tionghoa yang sudah ada di Indonesia .
Di Indonesia juga di Malaysia
dan Singapura, orang-orang ini dipanggil Peranakan atau lebih khusus lagi yang
laki dipanggil Baba dan yang wanita dipanggil Nyonya. Saya membicarakan mereka
yang tinggal di Indonesia untuk memperkecil ruangan yang kita bicarakan. Mereka
ini umumnya tidak pandai lagi apa bahasa Tionghoa, dirumah mereka dengan
keluarganya bicara dalam bahasa lokal atau yang Tempo Doeloe dikatakan Bahasa
Melajoe Tionghoa,
Mereka sudah mengambil banyak
identitas Indonesia, karenanya kebudayaannya sudah campuran . Nyonya doeloe
pakai Sarong Kebaya. Tetapi lain motifnya dengan sarung orang pribumi, sarung
ini dinamakan Sarong Nyonya dan terutama dibuat di Pekalongan. Karena keaktifan
Nyonya dalam masak-memasak maka banyak masakan yang disebut masakan Nyonya,
seperti lontong cap go meh, bak-cang, kwee-cang, lemper dsb.
Karena sudah beberapa generasi
tinggal di Indonesia , dan waktu itu komunikasi yang masih belum semaju
sekarang, maka mereka pada umumnya sudah tidak punya lagi keluarga di Tiongkok
( kehilangan akar/root nya ) dan orientasinya ialah Negara Indonesia, dimana
mereka menetap. Dijaman Doeloe mereka sekolah Belanda, karenanya bisa
meneruskan pelajarannya ke universitas dan banyak diantara mereka yang
tergolong intelek seperti dokter, insinyur, ekonom, pengacara, dan guru
sekolah, sedikit yang berdagang kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pegawai
di perusahaan internasional, bank dan perusahaan orang Tionghoa lainnya.
Tionghoa Totok adalah
mereka yang datang ke Indonesia sesudah wanita juga diperbolehkan oleh kerajaan
Ching untuk bepergian keluar negeri dan para suami diijinkan untuk membawa
istrinya. Dalam keluarga mereka tetap bicara bahasa Tionghoa, dialek asal
dimana mereka datang dari Tiongkok. Anak-anak mereka tetap sekolah Tionghoa,
karena lulusan sekolah Tionghoa tidak diakui baik oleh pemerintah Belanda
maupun pemerintah Indonesia . Maka mereka yang lulus pada jaman Tempo
Doeloe dari sekolah menengah tidak bisa meneruskan ke universitas dan untuk
mempertahankan penghidupannya banyak dari mereka berdagang. Sesudah berdirinya
Res Publica di beberapa kota-kota besar diantaranya Jakarta ( sekarang bernama
Universitas Trisakti – Jakarta ) dan Surabaya, mereka bisa meneruskan studinya
di universitas Res Publica. Dalam bidang perdagangan, karena mereka giat
bekerja, bisa bekerja sama diantara mereka dari satu provinsi dan sifat-sifat
yang menghemat banyak diantaranya sukses dalam bisnisnya.
Jelas mereka mempertahankan
kebudayaan Tiongkok dan orientasi mereka terutama pada Tiongkok. Mereka masih
mempunyai keluarga dekat di Tiongkok dan yang mempunyai uang sering berkunjung
ke Tiongkok untuk mengunjungi keluarga dan teman-temannya. Anak-anak mereka
pada jaman sesudah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, karena sokolahan mereka
tidak diakui oleh pemerintah, karena guru-gurunya tidak dianggap berkwalifikasi
sebagai guru, karena lulusan sekolah menengah mengajar disekolah menengah juga.
Banyak generasi mudanya, karena masih berorientasi kuat ke negara leluhur
mereka , maka untuk meneruskan pelajarannya mereka Wei-guo (pulang ke negeri
leluhur) tidak ke Singapore atau Malaysia atau Taiwan, meskipun mereka harus
menanda-tangani perjanjian tidak boleh menetap kembali di Indonesia. Orang
Tionghoa Totok ini karena mempunyai sifat provinsialisme yang kuat maka mereka
menikah antar sukunya sendiri, yaitu orang Hok Jia menikah dengan orang Hok Jia
dan orang Hakka menikah dengan orang Hakka dsb.
Dalam sejarah Hua Yi pada jaman
Hindia Belanda dan kemudian pada Jaman Indonesia merdeka terjadilah kerja sama
yang erat antara Golongan Peranakan didikan Barat dan Golongan Totok dari
berbagai provinsi dan kota . Kita di Indonesia senantiasa mendengar bahwa
Penguasa Belanda memberikan privelege, fasilitas, keuntungan bagi orang
Tionghoa, tetapi sejarah memperlihatkan keadaan yang tidak demikian. Orang
Tionghoa sangat dibatasi kemungkinan dan ruang geraknya, ke-mobil-annya untuk
usaha. Orang Tionghoa seperti diatas telah saya bahas, tetapi baiklah saya
ulangi lagi untuk jelasnya. Setiap orang Tionghoa yang berpergian, meninggalkan
Pecinan harus meminta ijin dari penguasa Belanda, dimana ditulis pergi kemana,
dan jam yang ditentukan harus sudah pulang. Kalau mereka pergi tanpa surat ijin
bisa ditahan oleh polisi. Ini sangat menghalangi perdagangan orang Tionghoa.
Dengan ijin surat jalan dapat kita analisa bagaimana sukarnya bagi pedagang
untuk mempromosikan perdagangannya, mengerjakan marketingnya dan pengurusannya.
Contoh kedua dari diskriminasi penguasa Belanda terhadap orang Tionghoa ialah
dalam bidang pendidikan. Bagi orang Tionghoa yang kaya atau anak-anak dari
opsir-opsir Tionghoa, mayor, kapten, letnan (pengangkatan orang Tionghoa oleh
pemerintah Hindia Belanda untuk mengurus masyarakat Tionghoa diberi gelar
militer tetapi bukan militer) sekolah disekolah-sekolah Barat swasta.
Pemerintah tidak memperdulikan pendidikan orang Tionghoa, padahal bagi
anak-anak pribumi diadakan sekolahan khusus pada tahun 1871.
Pemimpin-pemimpin Tionghoa
Peranakan didikan Barat, diantaranya ada seorang yang terkenal kaya raya dan
bekerja untuk masyarakat Phoa Keng Hek menunjukkan ketidak puasannya terhadap
hukum yang diskriminatif ini. Mereka membalas dengan mendirikan organisasi
massa Tiong Hoa Hwee Kuan pada tahun 1900, terkenal dengan singkatan THHK.
Dalam pengurusan THHK terdapat orang-orang Totok. Tujuan dari THHK ialah
pendidikan, merubah kebiasaan-kebiasaan hidup yang merugikan masyarakat
Tionghoa dan keluarganya, seperti menghisap candu, pergi ke tempat pelacuran,
menghambur-hamburkan uang pada waktu pesta perkawinan, kematian dsb.
Mempropagandakan ajaran Guru Besar Kong Fu Zi, dan mendirikan
sekolahan-sekolahan yang modern untuk memenuhi kebutuhan perdagangan bagi orang
Tionghoa.
Pendirian THHK adalah satu
reformasi yang besar, satu impak bagi kedinamikan orang-orang Tionghoa dalam
bidang sosial, budaya dan perdagangan. Sekolahan-sekolahan itu berbahasa
pengantar bahasa Mandarin, mempromosikan budaya Tionghoa dan guru-gurunya
adalah orang-orang Totok yang didatangkan dari Tiongkok. Sekolahan ini
berkembang dengan cepat dan tersebar diseluruh Nusantara. Tiong Hoa Hwee Kuan
dikunjungi oleh seorang reformasi Tiongkok yang besar Kang Yu Wei, bahkan
tulisan Tionghoa dari Tiong Hoa Hwee Kuan ditulis dengan pensil oleh Kang sendiri.
Karena suksesnya dalam bidang pendidikan THHK kemudian menjadi lembaga
pendidikan. Pemerintah kerajaan Qing mengirimkan para pejabat-pejabat
pemerintahnya ke Hindia Belanda untuk membantu pendidikan Hua Yi, bahkan mereka
memberi beasiswa untuk meneruskan pendidikannya ke universitas di daratan
Tiongkok. Karena ini orang Tionghoa mau tidak mau berorientasi ke Tiongkok.
Tidak seorangpun akan meragukan bahwa Tiong Hoa Hwee Kuan yang pertama-tama
didirikan oleh Peranakan Tionghoa berpendidikan Barat hanya bisa sukses kalau
mereka bekerja sama dengan golongan totok, baik dalam pengurusan pendidikan
maupun dalam bidang finansial.
Kalau kita lihat usaha kegiatan
dari Tiong Hoa Hwee Kuan, dapat disimpulkan bahwa Tiong Hoa Hwee Kuan adalah
organisasi yang mendongkrak pikiran yang kuno dan tidak cocok dengan keadaan
pada jamannya, lalu membangun pikiran-pikiran yang baru, guna kemajuan
masyarakat Tionghoa, karenanya sejarah menganggap THHK sebagai ormas yang
pertama di Indonesia yang menganjurkan “ Nation dan Character Building”. Tetapi
tidak disebut demikian sebelum Perang Dunia II, karena pengertian tentang Ilmu
Politik dan Tata Negara masih belum sampai disitu. Tetapi pendirian THHK
mendapatkan sambutan yang baik dari semua golongan yang ada di Hindia Belanda
dan mendirikan ormas-ormas yang serupa dengan THHK. Salah satu pemuka-pemuka
Tionghoa Peranakan pendidikan Barat yang merupakan lokomotif dari pendirian
THHK adalah ketuanya yang bernama Phoa Keng Hek. Phoa akan diangkat oleh
Gubernur Jendral Belanda untuk menjadi Kapitan Tionghoa, tetapi beliau menolak
fungsi yang tinggi itu, dengan alasan yang halus. Phoa mengerti fungsi sebagai
kapitan Tionghoa, beliau tidak dapat dengan bebas mengabdi pada masyarakat
Tionghoa. Nasionalisme Phoa yang terpengaruh oleh perkembangan nasionalisme di
Tiongkok diantaranya, Kang Yu-Wei, Liang Chi-Chao dan Dr. Sun Yat-Sen, yang
juga disebut oleh Bung Karno mempunyai pengaruh terhadap pandangan politik
beliau.
Pendirian THHK adalah “Gerakan
yang mengkhawatirkan” bagi penguasa Belanda, mereka takut kehilangan kontrol
terhadap orang-orang Tionghoa dan dengan merasa terpaksa pemerintah Hindia
Belanda membuka pendidikan khusus bagi orang Tionghoa yang terkenal dengan nama
Hollandsch-Chineesche School (HCS) pada tahun 1908. Lulus dari HCS dapat
meneruskan ke MULO dan lalu ke AMS untuk kemudian bisa meneruskan ke
universitas. Dan menurut hukum orang Peranakan dimasukkan dalam onderdaan
pemerintah Hindia Belanda. Dengan adanya HCS yang bisa meneruskan sekolahannya
ke sekolah teknik menengah dan universitas, anak-anak dari peranakan kebanyakan
masuk ke HCS dan anak-anak Totok tetap sekolah di THHK atau sekolahan Tionghoa
lainnya yang baru mereka dirikan.
Contoh lain dari hasil yang
baik dari kerjasama antar dua golongan Hua Yi ini, dapat dilihat di Rumah
sakit-rumah sakit yang didirikan di kota-kota besar oleh para dokter peranakan
Tionghoa seperti RS. Tiong Hoa Ie Wan di Semarang dan Surabaya ( yang di
Semarang sekarang bernama RS. Telogo Rejo ), RS. Yang Seng Ie ( sekarang RS.
Husada ) di Jakarta, Rs. Dr. Oen di Solo dsb. bisa berkembang baik karena kerja
sama antar dua golongan masyarakat Peranakan dan Totok. Kerja sama ini tampak
lebih jelas pada jaman modern sekarang ini.
Seperti di Surabaya kegiatan
dari almarhum bapak Yap Eng Kie, seorang totok yang bekerja sosial untuk Tiong
Hoa Ie Wan sampai akhir hidupnya. Demikian pula dalam mendirikan
sekolah-sekolah rendah, menengah dan universitas di Indonesia melihatkan kerja
sama yang unik antara golongan Totok dan Peranakan. Tidak salah kalau kita
gunakan bahasa sepak bola, bahwa masyarakat Hua Yi di Indonesia merupakan
sebuah team yang kuat dan indah dengan kekayaan jiwa yang besar. Mereka bermain
dengan indah seperti bintang-bintang dilangit dan karena kwalitas yang tinggi mereka
mendapatkan historical success.
Di Eropa civilisasi mereka
ialah civilisasi perjuangan, katakanlah orang Eropa mempunyai agama, tetapi
agama ini memberi kepuasan pada hatinya tetapi tidak pada otaknya. Dan filosofi
mereka memberi kepuasan kepalanya tetapi tidak hatinya. Sifat perjuangan ini
dapat kita lihat dalam banyak segmen-segmen penghidupan mereka, dari literatur,
seni, politik dsb. Juga filosofi mereka tidak menunjukkan kesatuan, ambil
seumpamanya Socrates adalah guru dari Plato, tetapi filosofi Plato bukan
filosofi dengan nama socratoisme. Demikian pula dengan Aristoteles yang belajar
dan hidup selama duapuluh tahun dengan Plato menamakan teorinya dengan namanya
sendiri. Karena adanya kontradiksi-kontradiksi ini maka mereka mendapatkan
kemajuan dalam bidang teknologi dan dalam banyak bidang keilmuan. Kemajuan
dalam bidang materi tetapi kurang dalam bidang jasmani, kebalikan dengan
Tiongkok ketenangan, kekayaan dalam jiwa, tetapi kurang dalam materi.
Dengan otak orang bisa merobah
keadaan, kehidupan untuk kemajuan dengan penemuan-penemuan teknologi. Bisa
dikatakan bahwa orang Tionghoa hidup sebagai anak kecil yang hidup dengan
perasaan, tetapi jujur dan tidak kompleks, sama dimulut sesuai dihati. Dapat
saya katakan dengan singkat bahwa Orang Tionghoa adalah seorang dewasa dengan
hati anak. Seperti filsuf kenamaan Meng Ke (Mencius) mengatakan, apakah yang
kami ini kehilangan? Beliau berkata: Orang itu pada siang hari mencari apa yang
kehilangan, yang dia cari-cari disiang hari ini ialah hati seorang anak!
Kejujuran dan spontanitas seorang anak.
Tetapi kalian akan setuju
dengan saya bahwa identitas suatu bangsa, suku selalu berubah dengan perubahan
waktu. Sifat-sifat dan norma-norma hidup yang kuno, sudah “tua” akan hilang dan
akan datang manusia Tionghoa yang baru yang sudah mengadaptasikan dengan
keadaan dimana mereka tinggal atau pernah tinggal dengan jangka waktu yang
lama. Yang datang ialah manusia Tionghoa yang modern dan progressif dengan
orientasi diri ke jurusan Indonesia dan menerima Indonesia sebagai negaranya.
Saya beranggapan bahwa kontradiksi antar kedua golongan ini dalam badan
masyarakat Tionghoa janganlah lagi disebut-sebut, atau disentil-sentil pada
faktor-faktor yang sensitif yang bisa menyebabkan perpecahan dalam dua kubu pro
dan kontra, seperti yang sudah kita alami. Kita harus mengerti bahwa
kesuksesan dari persatuan ini tergantung pada motivasi dari Hua Yi!
Saya pernah berdiskusi dengan
teman-teman saya, dimana saya katakan pada mereka bahwa perbedaan yang
dulu-dulu adalah satu tahapan yang sudah dilewati! Perbedaan selalu akan timbul
dalam perjalanan kehidupan manusia, dan kontradiksi yang timbul harus
diselesaikan dalam suasana kekeluargaan dan diusahakan jangan sampai menjadi
rumit. Saya mempunyai pendirian bahwa kwalitas dan hasil harus berjalan
bersama, karenanya saya harap mengingat hal praktis dan sosial semua
“konflik”dalam tubuh masyarakat Tionghoa secepatnya diselesaikan. Saya
berpendapat bahwa satu kemiskinan kejiwaan kalau persatuan ini tidak berjalan
dengan langgeng. Sebetulnya masyarakat Tionghoa adalah satu kesatuan yang
pandai dan indah, mengapa tidak? Golongan yang dulu disebut Peranakan mempunyai
intelektualitas, profesional yang tinggi dan golongan Totok mempunyai sifat
busines kuat dan cara mengelolanya yang simpatik, maka permainan dalam lapangan
sosial, budaya, economis dan politik perlu adanya pimpinan yang kharismatis dan
pandai.
Analisa saya tersebut diatas
tidak berdasarkan hanya dari satu kejadian yang sukses bahkan sukses yang
sangat spektakuler dari THHK, tetapi kesuksesan pada banyak institusi-institusi
dan ormas-ormas pada periode yang tidak sama dalam sejarah Indonesia. Yang
perlu saya katakana disini ialah agar kerjasama itu perlu dilanggengkan dan
dengan pengertian bahwa karena masing-masing golongan mempunyai
kelebihan-kelebihan, persatuan mereka telah membuahkan kesuksesan yang besar
dalam bidang sosial, budaya, kesehatan dan ekonomi bangsa dan negara Indonesia.
Negara dimana mereka dilahirkan dan merasakan kecintaan dan kesenangan untuk menetap,
sebagai home sweet home mereka. Kami lihat bahwa
universitas-universitas swasta dan rumah sakit-rumah sakit yang didirikan oleh
masyarakat Tionghoa tetap berdiri dan berkembang baik dalam kwantitas maupun
dalam kwalitas.
Dengan demikian dalam tubuh
masyarakat Tionghoa tidak ada lagi pembagian antara Peranakan dan Totok yang
ada ialah peranakanisasi dari orang-orang Tionghoa Totok. Perubahan yang
prodresif ini sangat diperlukan tidak saja bagi WNI keturunan juga pada
mayoritas, pemerintah dan media cetak pada umumnya. Perubahan yang tidak boleh
ditunda bahkan sekarang juga harus ada perubahan yang saya maksudkan diatas.
Pada jaman Orde Baru semua
sekolahan Tionghoa ditutup, dan orang Tionghoa "diharuskan" untuk
mengganti namanya dengan nama Indonesia, dilarang mempertunjukan kebudayaan
Tionghoa keluar, diluar rumah mereka dipaksa harus berbicara bahasa Indonesia.
Paman dari istri saya, seorang Totok Hokjia bahasa Indonesianya lancar, juga
teman teman saya (golongan seniornya) yang dulu hampir tidak kenal bahasa
Indonesia, umumnya mereka bicara dalam bahasa “jawa ngoko” / jawa kasaran,
sekarang lancar bicara bahasa Indonesia. Saya harus mengakui kekalahan saya
dalam hal berbahasa Indonesia dari mereka. Generasi mudanya bersekolah di
sekolah Indonesia , yang didirikan oleh golongan Peranakan. Dengan demikian
mereka kenal sejarah dan kebudayaan Indonesia lebih baik dari ayah dan ibunya.
Tidak berkelebihan kalau saya
katakan sesudah saya setiap tahun berkunjung ke Indonesia , terutama sesudah
periode Gus Dur, terjadilah proses integrasi yang berjalan lancar. Bahkan dapat
dikatakan bahwa situasi orang Tionghoa dalam hal sosial budayanya jauh lebih
baik dari sebelumnya. Dalam pertanyaan saya pada generasi muda anaknya totok,
banyak dari mereka yang tidak tahu lagi asal provinsi mereka di Tiongkok
daratan. Diantara mereka ini sekarang banyak yang sekolah ke universitas dalam
dan luar negeri. Banyak diantara mereka sesudah lulus tidak menerjunkan dirinya
dalam usaha ayahnya tetapi bekerja di perusahan internasional asing dan
bank-bank. Ada seorang pemuda lulusan USA yang berkata: “saya sekolah fakultas
perekonomian, masa saya harus meneruskan perusahaan ayah saya jualan minyak di
Semarang. Kan lebih baik sejak dulu saja saya kerjakan dan tidak usah ke USA
untuk mendapatkan gelar ekonom. Mungkin saya sekarang sudah punya uang simpanan
.” Banyak generasi mudah lulusan universitas yang tidak mau kembali
meneruskan pekerjaan ayahnya apalagi kalau didesa atau kota kecil, mereka lebih
baik bekerja di Bank atau perusahan Multi Nasional di Jakarta atau Surabaya dan
tidak sedikit jumlahnya yang menetap di Negara-negara Barat dan di
Negara-negara maju lainnya. Terjadilah proses yang dinamakan Peranakanisasi
dari generasi muda totok.
Bagaimanapun saya percaya pada
hari depan Huayi, orang- orang Tionghoa dari segala golongan dan suku bisa
tetap bersatu tiada perbedaan antara suku, Peranakan dan Totok, dengan
persatuan ini mereka bisa meningkat dalam tangga masyarakat, baik dalam tingkat
intelek, ekonomi dan budaya. Seperti keadaan pada jaman Orde Lama, kalian bisa
membanggakan kebudayaan dan ekonomi, yang berguna bagi bangsa dan negara
Indonesia , karena kalian masing-masing memepunyai kemampuan. Reformasi
yang dimulai oleh mantan presiden Abdulrachman Wahid dan pemerintahan selanjutnya
dapat membantu dalam perkembangan yang saya maksud diatas. Dengan
perkataan singkat bisa saya jelaskan disini bahwa kerja sama, saling respek dan
toleransi adalah satu kebenaran dimana kita bersama berusaha mengerjakan setiap
hari.
Penutup
Sebagai penutup dari tulisan
saya ini, yang dapat dipertanyakan adalah apakah problem dalam masyarakat
Tionghoa adalah problem orang Tionghoa ataukah problem bangsa dan negara
Indonesia ???
Jelas ini adalah problem bangsa
dan negara Indonesia . Indonesia pada jaman reformasi ini akan menuju ke negara
yang demokratis, stabil dan makmur. Dan ini hanya bisa terlaksana kalau semua
rakyat, termasuk suku Tionghoa ikut dengan aktif dan banyak kreatifitas bekerja
sama dengan segala suku yang ada di Indonesia . Hanya dengan kreatifitas dan
efisiensi, ekonomi bisa berjalan dengan dinamis. Kemajuan materiil dari ekonomi
ada hubungan erat dengan kepandaian manusia, karena itu Indonesia diharapkan
berani memakai orang yang pandai tanpa pandang Ras nya !!!
Dr. Han Hwie-Song
Breda 9 Juni 2008
Nederland
======
Admin Note :
Dr. Han adalah kelahiran Surabaya sampai akhirnya beliau pindah ke Hong Kong dan akhirnya menetap di Nederland disana karena pengabdiannya beliau di hadiahi Bintang Penghargaan oleh Ratu Belanda tetapi Semangat dan Pikiran beliau masihlah tertuju pada Indonesia sehingga beliau masih banyak menulis artikel ttg Indonesia.Ini semua bisa dibaca dalam Memoar DR. Han Hwie Song ( seperti pada foto ini ) . Kami secara pribadi mengenal beliau , sampai pada akhirnya beliau direnggut hidupnya oleh Tumor Otak tetapi penyakitnya seperti tidak dirasakan dan beliau tetaplah menulis artikel utk dikirimkan ke berbagai media di seluruh dunia dan beliau berhasil menyelesaikan Buku Memoarnya . Kami Salut atas dedikasi , ketabahan dan kesabaran beliau .
Dr. Han adalah kelahiran Surabaya sampai akhirnya beliau pindah ke Hong Kong dan akhirnya menetap di Nederland disana karena pengabdiannya beliau di hadiahi Bintang Penghargaan oleh Ratu Belanda tetapi Semangat dan Pikiran beliau masihlah tertuju pada Indonesia sehingga beliau masih banyak menulis artikel ttg Indonesia.Ini semua bisa dibaca dalam Memoar DR. Han Hwie Song ( seperti pada foto ini ) . Kami secara pribadi mengenal beliau , sampai pada akhirnya beliau direnggut hidupnya oleh Tumor Otak tetapi penyakitnya seperti tidak dirasakan dan beliau tetaplah menulis artikel utk dikirimkan ke berbagai media di seluruh dunia dan beliau berhasil menyelesaikan Buku Memoarnya . Kami Salut atas dedikasi , ketabahan dan kesabaran beliau .